Siapa yang tidak kenal dengan penyakit yang satu ini. Belakangan ini, istilah Endometriosis menjadi sangat populer. Penyakit yang hanya diderita kaum perempuan ini setiap tahunnya menunjukkan kenaikan jumlah kasus walaupun data pastinya belum dapat diketahui. Kaum perempuan tampaknya perlu mewaspadai penyakit yang seringkali ditandai dengan nyeri hebat pada saat haid ini. Pasalnya, selain dapat mengurangi potensi fertilitas atau kesuburan, penyakit ini seringkali sangat sulit terdeteksi (Veloso, 2007).
Subecha (2011) menyebutkan bahwa Endometriosis merupkan salah satu penyakit yang menjadi momok bagi kalangan wanita yang usianya masih reproduktif. Endometriosis merupakan salah satu kelainan ginekologik yang paling banyak yang ditemukan pada wanita usia
reproduksi sehat (20-35 tahun), dimana sebanyak 30 hingga 50 persen diantaranya menimbulkan masalah infertilitas. Dan diatara masalah infertilitas ini, endometriosis merupakan penyebab kemandulan wanita yang paling banyak.
Menurut MedicaStore dalam Veloso (2007) menyebutkan bahwa endometriosis adalah penyakit yang dipicu pertumbuhan jaringan endometrium di luar rongga rahim. Endometrium adalah jaringan yang membatasi bagian dalam rahim. Dalam siklus menstruasi, ketebalan endometrium akan bertambah sebagai persiapan terjadinya kehamilan. Bila kehamilan tidak terjadi, maka lapisan ini akan terlepas dan dikeluarkan sebagai menstruasi.
Kelainan ini diduga diturunkan secara genetis dan ditemukan enam kali lebih sering pada wanita yang mempunyai ibu atau saudara perempuan dengan keluhan ini dibandingkan yang tidak. Endometriosis dapat terjadi kapan saja sepanjang usia reproduksi wanita dan menjadi masalah besar karena bisa mengakibatkan terjadinya infertilitas. Karena itulah perlu adanya wacana yang lebih mendalam tentang endometriosis agar dapat memberikan informasi yang benar dan bermanfaat kelak.
Pengertian Endometrium
Endometrium adalah lapisan terdalam pada rahim dan tempatnya menempelnya ovum yang telah dibuahi. Di dalam lapisan Endometrium terdapat pembuluh darah yang berguna untuk menyalurkan zat makanan ke lapisan ini. Saat ovum yang telah dibuahi (yang biasa disebut fertilisasi) menempel di lapisan endometrium (implantasi), maka ovum akan terhubung dengan badan induk dengan plasenta yang berhubung dengan tali pusat pada bayi.
Gambar 1. Endometrium (Sumber: Anonim, 2011).
Endometrium terdiri dari sel epitel batang dengan banyak ceruk berisi kelenjar. Ceruk kelenjar itu dapat mencapai lamina propria, jaringan ikat di bawah lapisan epitel. Kelenjar uterus berpangkal pada lamina propria endometrium yang disebut stroma. Di situ ada sel-sel stroma, yang seperti pada ovarium dapat berubah-ubah menjadi sel-sel decidua (sel endometrium yang berhubungan dengan nidasi/pembelahan embrio dimana sel embrio berubah fungsi dan struktur menjadi lebih besar dan banyak mengandung glikogen dan lipid), yang mempertebal endometrium secara keseluruhan. Sekeliling kelenjar ada pembuluh darah, dan dengan tumbuhnya kelenjar itu pembuluh darah pun ikut tumbuh memanjang dan melilit-lilit spiral.
Gambar 2. Sebagian Mukosa (Endometrium) Koprus Uteri (Sumber: Geneser, 2007).
Lamina propria dapat dibedakan menjadi 2 daerah: Fungsionalis dan basalis. Fungsionalis, bagian yang berfungsi untuk nidasi dan plasentasi embrio dan kalau tidak terjadi pembuahan terkuras waktu menstruasi. Setelah terkuras, di daur berikutnya tumbuh lagi. Bagian basalis adalah yang tetap hadis selama menstruasi, tidak ikut terkuras. Ia terletak dibawah fungsionalis, dan menjadi bahan dasar pergantian lapisan fungsionalis itu. Kelenjar uterus berada di lapisan basalis (Yatim, 1982).
Gambar 3. Endometrium Bagian Lumen dengan Epitel Permukaan (Sumber: Geneser, 2007).
Hormon yang Terkait dalam Siklus Reproduksi Wanita
Berhubungan dengan Hypothalamus. Hypothalamus menggetahkan (mensekresikan) hormon FSH-RF (follicel stimulating hormon-releasing factor), merangsang hipofisa menggetahkan FSH (follicel stimulating hormon) dan LF-RF (Luteinizing Hormone- releasing facor) merangsang hipofisa menggetahkan LH (Luteinizing Hormone). Hipofisa meggetahkan FSH (folicel stimulating hormon) untuk menumbuhkan folikel yang akan memproduksi estrogen. Hormon ini kalau sudah tinggi kadarnya dalam darah menghalangi penggetahan FSH, tetapi mendorong penggetahan LH. Dengan tinggi kadarnya LH dalam darah terjadi ovulasi. Folikel yang tinggal jadi corpus luteum yang memproduksi progesteron dan estrogen sedikit. Kadar progesteron yang tinggi menghalangi penggetahan LH. Karena itu corpus luteum bergenerasi dan tidak lagi memproduksi progesteron. Sementara itu uterus mengalami menstruasi.
Jika ada kehamilan, placenta bertindak sebagai LH, sehingga corpus luteum tetap terpelihara untuk menghasilkan prgesteron saat melahirkan. Estrogen dan progesteron bekerja antagonis, kadang sinergis. Estrogen mendorong pertumbuhan lapisan mukosa beserta kelenjar seluruh saluran kelamin. Ini bertujuan agar saluran-saluran itu siap dan jadi milleu yang cocok untuk menerima kedatangan spermatozoa. Tuba banyak pembuluh darahsehingga jadi membesar dan tegang, dan dapat melingkup ovarium menjelang ovulasi. Lendirnya pun melakukan kapasitasi terhadap spermatozoa, agar pembuahan berlangsung lancar. Uterus pun oleh kadar estrogen yang tinggi dalam darah mempersiapkan diri untuk menerima kedatangan embryo dengan jalan membuat penebalan dan kelenjarnya siap untuk memberi nutrisi bagi embryo. Lendir uterus pun melakukan kapasitasi bagi spermatozoa agar lebih besar kesempatanya nanti membuahi di tuba. Cervix pun aktif menghasilkan lendir. Sebagai pintu gerbang masuknya spermatozoa, cervix menjadi faktor penentu apakah akan berlangsung pembuahan atau tidak. Oleh estrogen, lendir yang dihasilkan banyak, encer, tidak bercellular debris, spinnbarkeit rendah tapi ferning tinggi, pH alkalis yang semuanya cocok bagi spermatozoa.
Vagina oleh rangsangan estrogen, ikut menyiapkan diri dengan menghasilkan banyak glikogen yang ikut menyuplai energi bagi spermatozoa. Menjelang dan sekitar ovulasi pun, tingkah laku betina jadi berbeda dari biasanya. Waktu demikian, betina menjadi sangat ingin/aktif mencari pejantan untuk melangsungkan perkawinan. Dikenal istilah “estrus” (panas) pada mamalia yaitu saat birahi memuncak ketika ovulasi datang yang disebabkan oleh estrogen (Yatim. 1982).
Daur Uterus dibagi menjadi 3 fase yaitu fase proliferasi, fase sekresi, dan fase menstruasi.
- Fase proliferasi: kelenjar endometrium tumbuh dan terjadi mitosis berulang-ulang pada sel-sel epitel seta jaringan ikat yang memelihara lamina propria (stroma). Sel stroma kini disebut sel decidua yang kaya akan glikogen. Fase ini dempet dengan fase folikel dalam ovarium berarti dibawah rangsangan estrogen yang kadarnya meningkat dalam darah. Fase ini mulai pada waktu berakhirnya menstruasi, menyebabkan endometrium jadi 2-3 kali tebal asalnya. Oleh mitosis epitel dan stroma terus menerus yang terus menerus tadi, kelenjar uterus makin banyak dan makin tinggi. Pembuluh darah juga ikut tumbuh memanjang mengikuti penebalan endometrium itu, dan membuat susunan khas pada uterus melilit-lilit bentuk spiral. Fase proliferasi berhenti oada hari ke-14 daur.Gambar 4. Endometrium Fase Proliferase (Sumber: Geneser, 2007).
- Fase sekresi atau fase menggetahkan: mulai terjadi saat ovulasi di ovarium. Fase ini dempet dengan fase lutein daur ovarium, dan uterus melakukan penggetahan dan lendir getahan berkumpuldi lumennya. Cairan stroma pun kian menebal, pembuluh darah terus memanjang dan berlilit-lilit sampai ke permukaan endometrium. Dalam keadaan ini uterus siap menerima nidasi. Fase ini berlangsung 14 hari pula. Lendir atau cairan uterus berfungsi untuk kapasitasi dan melancarkan nidasi. Lendir itu pada post-ovulasi mengandung zat untuk mendorong spermatozoa melepaskan hyaluronidase agar pembuahan berlangsung lancar. Sementara itu lendir ini merangsang myometrium merenggang (dilatasi), sehingga spermatozoa lancar lewat. Untuk kelancaran ndasi, lendir mengandung blastokinin, suatu zat yang merangsang blastosit (embro awal bentuk bola) untuk bernidasi.Gambar 5. Endometrium Fase Sekresi (Sumber: Geneser, 2007).
- Fase menstruasi: ini terjadi jika ovum tidak dibuahi sehingga ndasi tidak terjadi pula. Corpus luteum berhenti bekerja sehingga kadar progestron jatuh mendadak. Karena itu endometrium pun mengalami penyusutan dan hancur. Fase ini 2 minggu setelah ovulasi. Lapisan fungsionalis endometrium terkelupas dan lepas dari lumen. Pembuluh darah di lapisan itu ikut meluruh, sedang dibatas kelupasan berangsur terjadi pengincupan sampai tertutup. Dengan demikian endometrium menjadi tipis karena tinggal lapisan basalis saja (Yatim,1982).Gambar 6. Skematik Perubahan Endometrium Selama Daur Haid (Sumber: Sloane, 2004).
- Pengertian Endometriosis
Para ahli kesehatan dan sumber-sumber yang terkait banyak berspekulasi dan mengartikan apa sesungguhnya endometriosis itu? Adapun pengertian beberapa pengertian dari endometriosis adalah
- Endometriosis adalah implan jaringan (sel-sel kelenjar dan stroma) abnormal mirip endometrium (endometrium like tissue) yang tumbuh di sisi luar kavum uterus, dan memicu reaksi peradangan menahun (Farah, 2006).
- Endometriosis adalah suatu penyakit dimana terdapat bercak-bercak selaput lendir rahim (endometrium) di jaringan di luar rahim. Padahal normalnya hanya terdapat di dalam jaringan rahim (Yatim, 2005).
- Menurut Wiknjosastro (2009), endometriosis adalah satu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma, terdapat di dalam miometrium ataupun diluar uterus.
- Endometriosis adalah suatu keadaan yang ditandai dengan ditemukannya jaringan endometrium yang fungsional di luar kavum uteri, berhubungan dengan haid, bersifat jinak tetapi dapat menyerang organ-organ sekitarnya. Bila ditemukan di dalam miometrium disebut endometriosis interna atau adenomiosis, sedangkan bila ditemukan di luar uterus disebut endometriosis eksterna atau true endometriosis. (Rambulangi, 2002).
Gambar 7. Lokasi Endometriosis.
Hal-hal yang Menjadi Penyebab Terjadinya Endometriosis
Hampir semua ahli berpendapat bahwa endometriosis tidak diketahui penyebabnya. Hanya ada beberapa teori, yakni:
- Ada yang berpendapat bahwa sewaktu menstruasi, darah menstruasi berbalik aliran melalui saluran tuba falopii, menuju rongga perut dan tertanam seta tumbuh di situ.
- Teori lainnya mengemukakan bahwa endometriosis merupakan kelainan yang diturunkan (genetik)
- Pendapat lainnya melihat ada gangguan sistem kekebalan pada penderita endometriosis dimana pada penderita endometriosis, darah menstruasinya tidak dikeluarkan lengkap dari rongga panggul, dan zat yang tersisa, merangsangdaerah-daerah tempat endometriosis tumbuh dan kemudian menyebar ke tempat lain.
- Penelitian belakangan mengemukakan bahwa penderita endometriosis memiliki gangguan sistem kekebalan, menolak jaringannya sendiri. Pendapat ini didukung adanya kenyataan bahwa penderita endometriosis menderita kecapaian terus menerus secara kronik (chronic fatigue syndrome) sampai menderita sindrom fibromialgia dimana otot-otot terasa sakit. Demikian juga disertai sakit pada tendon dan ligamen. Penderita juga bisa menderita asma, alergi, atau eksim. Hasil penelitian ini membantu dalam mengobati penderita.
- Peneliti lainnya melaporkan bahwa endometriosis termasuk penyakit gangguan sistem endokrin, gangguan kelenjar, dan pengeluaran zat lain seperti estrogen
- Pendapat lainnya adalah adanya faktor lingkungan yang menyebabkan endometriosis seperti zat kimia
Karena jaringan endometrium mengikuti perkembangan jaman setiap siklus menstruasi seperti endometrium di rahim, maka jaringan endometrium berbentuk tumor menghasilkan penekanan berupa nyeri, mandul, dan masalah penekanan dan bendungan lain. Seperti halnya endometrium rahim, endometriosis di organ lain juga bisa pecah pada waktu menstruasi, hingga timbul pendarahan pada usus, dan lama-lama sisa jaringan membentuk jaringan parut sehingga timbul gejala penekanan dan bendungan baik pada saluran usus, saluran kencing, jaringan paru ataupun tempat lain.
Gambar 8. Endometriosis Kolon (Perhatikan Kelenjar Endometrium Jinak dan Stroma Endometrium di Submukosa Kolon).
Van Rokintansky merupakan orang pertama yang merinci dan memperkenalkan istilah endometriosis pada tahun 1960. Sejak saat itu bermunculan berbagai teori mengenai pathogenesis endometriosis yang pada prinsipnya bersepakat menganggap endometriosis sebagai suatu penyakit yang bersifat invasive non-neoplastik, serta mengandung unsur stroma dan kelenjar endometriosis yang bersifat responsive terhadap pengaruh hormonal. Hingga kini penyebab endometriosis belum diketahui secara pasti. Banyak teori yang disebut ikut berperan dalam pathogenesis endometriosis sehingga endometriosis disebut juga ‘penyakit penuh teori’. Banyak hipótesis telah dikemukakan tentang patogénesis terjadinya endometriosis, tetapi hipótesis Sampson tentang menstruasi retrograde yang menyebabkan tertanamnya jaringan endometriotik di luar kavum uteri yang banyak diterima, dengan segala perdebatannya. Walaupun menstruasi retrograde dilaporkan terjadi pada 70-90% wanita, namun diagnosis endometriosis hanya terjadi pada sekitar 10%. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa hanya sebagian kecil wanita menderita endometriosis. Diduga ada faktor lain yang terlibat dalam perkembangan penyakit ini salah satunya adalah faktor genetik.
Penelitian tentang dasar genetik dari endometriosis masih banyak diteliti tetapi belum ada gen spesifik yang dapat dibuktikan secara pasti. Bagaimanapun, saat ini sudah ada bukti klinis dan eksperimen dimana ada literatur yang secara tegas menyatakan endometriosis termasuk penyakit genetik. Bukti/klinis tersebut adalah ditemukannya endometriosis pada kelompok manusia memiliki hubungan keluarga dan ditemukan pada sebagian besar populasi Islandia, pada kembar monozigot juga pada saudara perempuan yang bukan saudara kembar; meningkatnya angka kejadian 6-9 kali pada keturunan pertama wanita yang terkena dibandingkan populasi, dan angka kejadian sebanyak 15% yang ditemukan dengan pemeriksaan MRI pada keturunan pertama wanita yang menderita penyakit ini pada stadium III-IV menurut revised American Fertility Society (rAFS). Sebagai tambahan, sejumlah penelitian juga menemukan beberapa gen yang mungkin mempunyai hubungan penyakit ini. Penelitian pada saudara kembar memberikan bukti klinis yang kuat, termasuk laporan kasus kembar monozigot (MZ) dan dizigot (DZ) telah dilakukan oleh Australian National Health and Medical Research Council Twin Register (Rambulangi, 2002).
Mekanisme Terbentuknya Endometriosis
Mekanisme terjadinya endometriosis belum diketahui secara pasti dan sangat kompleks, berikut ini beberapa etiologi endometriosis yang telah diketahui:
- Regurgitasi haid
- Gangguan imunitas
- faktor genetika
Mekanisme Perkembangan Endometriosis :
- Penyusukan sel endometrium dari haid berbalik (Sampson)
- Metaplasia epitel selomik (Meyer-iwanoff)
- Penyebaran limfatik (Halban-Javert) dan Vaskuler (Navatril)
- Sisa sel epitel Muller embrionik (von recklinghausen-Russel)
- Perubahan sel genitoblas (De-Snoo)
- Penyebaran iatrogenik atau pencangkokan mekanik (Dewhurst)
- Imunodefisiensi lokal
- Cacat enzim aromatase
Gambar 9. Patofosiologi Nyeri dan Infertilitas Berhubungan dengan Endometriosis.
Regurgitasi Haid
Darah haid yang berbalik ke rongga peritoneum diketahui mampu berimplantasi pada permukaan peritoneum dan merangsang metaplasia peritoneum. kemudian merangsang angiogenesis. Hal ini dibuktikan dengan lesi endometriosis sering dijumpai pada daerah yang meningkat vaskularisasinya. Pentingnya selaput mesotelium yang utuh dapat dibuktikan pada penelusuran dengan mikroskop elektron, terlihat bahwa serpih haid atau endometrium hanya menempel pada sisi epitel yang selaputnya hilang atau rusak. Lesi endometriosis terbentuk jika endometrium menempel pada selaput peritoneum. Hal ini terjadi karena pada lesi endometriosis, sel, dan jaringan terdapat protein intergin dan kadherin yang berpotensi terlibat dalam perkembangan endometriosis. Molekul perekat haid seperti (cell-adhesion molecules, CAMs) hanya ada di endometrium, dan tidak berfungsi pada lesi endometriosis.
Teori pencangkokan Sampson merupakan teori yang paling banyak diterima untuk endometriosis peritoneal. Semua wanita usia reproduksi diperkirakan memiliki endometriosis peritoneal, didasarkan pada fakta bahwa hampir semua wanita dengan tuba falopi yang paten melabuhkan endometrium hidup ke rongga peritoneum semasa haid dan hampir semua wanita mengalami endometriosis minimal sampai ringan ketika dilakukan laparoskopi. Begitu juga ditemukannya jaringan endometriosis pada irisan serial jaringan pelvik pada wanita 40 tahunan dengan tuba falopi paten dan siklus haid normal.Walaupun demikian tidak setiap wanita yang mengalami retrograde menstruasi akan menderita endometriosis.
Baliknya darah haid ke peritoneum, menyebabkan kerusakan selaput mesotel sehingga memajankan matriks extraseluler dan menciptakan sisi perlekatan bagi jaringan endometrium.6Jumlah haid dan komposisinya, yaitu nisbah antara jaringan kelenjar dan stroma serta sifat-sifat biologis bawaan dari endometrium sangat memegang peranan penting pada kecenderungan perkembangan endometriosis. Setelah perekatan matriks ekstraseluler, metaloperoksidasenya sendiri secara aktif memulai pembentukan ulang matriks ekstraseluler sehingga menyebabkan invasi endometrium ke dalam rongga submesotel peritoneum.
Dalam biakan telah ditemukan bahwa penyebab kerusakan sel-sel mesotel
adalah endometrium haid , bukan endometrium fase proliperatif, kerusakan endometrium ditemukan sepanjang metastase. Kemungkinan pengaruh buruk isi darah haid telah dipelajari pada biakan gabungan dengan lapisan tunggal sel mesotel, terlihat bahwa endometrium haid yang luruh, endometrium haid yang tersisip, serum haid dan medium dari jaringan biakan haid, menyebabkan kerusakan hebat sel-sel mesotel, kemungkinan berhubungan dengan apoptosis dan nekrosis.
Endometriosis merupakan penyakit yang bergantung dengan kadar estrogen akibat P450 aromatase dan defisiensi 17 beta-hidrohidroksisteroid dehidrogenase. Aromatase mengkatalisis sintesis estron dan estradiol dari androstenedion dan testosteron, dan berada pada sel retikulum endoplasma. Pada sel granulosa 17beta-hidrohidroksisteroid dehidrogenase mengubah estrogen kuat (estradiol) menjadi estrogen lemah (estron).
Endometrioma dan invasi endometriosis ekstraovarium mengandung aromatase kadar tinggi., faktor pertumbuhan, sitokin dan beberapa faktor lain berperan sebagai pemacu aktivitas aromatase melalui jalur cAMP 17beta-hidrohidroksisteroid dehidrogenase mengubah estrogen kuat (estradiol) menjadi estrogen lemah (estron) yang kurang aktif, yang tidak ditemukan pada fase luteal jaringan endometriosis.Hal ini menunjukkan adanya resistensi selektif gen sasaran tertentu terhadap kerja progesteron. Resistensi juga terjadi dilihat dari gagalnya endometriosis untuk beregresi dengan pemberian progestin.
Diferensiasi klasik sel-sel endometrium bergantung pada hormon steroid sex dapat dibatalkan oleh beberapa faktor, seperti : interferon-gamma yang dilepas di dalam endometrium eutopik pada sambungan endometrio-miometrium. Secara
invitro telah diketahui mekanisme yang mendasari polarisasi spasial endometrium
eutopik menjadi lapisan basal dan superfisial. Lapisan basal merupakan sisi metaplasia siklik aktif sel-sel stroma endometrium basal untuk menjadi miofibroblas atau sebaliknya.
Aktivitas morfologis endometrium terlaksana di dalam lapisan superfisial oleh pradesidualisasi dan perdarahan haid, sedangkan di kompartemen zona lapisan basal oleh metaplasia dan diferensiasi otot polos secara siklik. Peritoneum bereaksi terhadap serpihan darah haid, berupa berhentinya perekatan sel-sel endometrium yang viable ke peritoneum, yang kemudian dapat berubah bentuk menjadi lesi endometriosis. Dalam hal ini ikut berperan faktor imunologi. Sistem imunitas yang terdapat dalam aliran darah peritoneal berupa limfosit B,T, dan Natural Killer (NK). Kemudian terjadi pengaktifan makrofag namun tidak dapat membersihkan rongga pelvik dari serpih darah haid. Aktitas sel NK menurun pada penderita endometriosis sehingga menyebabkan penurunan imunitas seluler.
Gangguan Imun
Mekanisme imunitas memainkan peranan dalam terjadinya endometriosis karena terdapatnya berbagai bukti adanya kelainan fungsi imun pada penyakit ini. Kelainan imunitas alamiah dan imunitas adaptif disampaikan untuk menerangkan terjadinya endometriosis. Pada penderita endometriosis ditemukan penurunan aktivitas natural killer cell dan terdapatnya peningkatan komplemen sebagai komponen sistim imun. Hipotesis bahwa endometrosis merupakan suatu penyakit autoimun disampaikan pada tahun 1980.
Koninckx dkk berpendapat bahwa endometriosis bila dalam keadaan minimal atau timbul secara mikroskopis merupakan suatu kondisi yang alami yang muncul secara intermiten pada semua wanita dan bukan merupakan suatu penyakit. Endometriosis minimal yang muncul secara fisiologis tidak diindikasikan sebagai patologis kecuali kemudian menjadi progresif. Endometriosis yang menjadi progresif ini oleh beberapa peneliti diyakini muncul pada wanita dengan kelainan pertahanan sistim imun.
Dmowski dkk menduga faktor genetik dan imunologi sangat berperan terhadap timbulnya endometriosis. Ditemukan penurunan imunitas seluler, peningkatan aktivitas makrofag dan penurunan aktivitas natural killer cell, serta penurunan aktivitas sel limfosit. Keadaan ini mengakibatkan kegagalan dalam clearance cell. Menurut teori ini pertahanan imunologik yang abnormal mengakibatkan ketidaksanggupan membersihkan debris regurgitasi darah haid dari lingkungan peritoneum sehingga respon inflamasi menjadi lebih panjang. Makrofag dan sel-sel imunokompeten lainnya mengelilingi lesi endometriosisdan mengeluarkan berbagai jenis sitokin katabolik yang bertujuan untuk menimbulkan reaksi inflamasi kronik dan merangsang terbentuknya jaringan fibrosis. Kadar lisozim pada cairan peritoneum wanita dengan endometriosis dan peningkatan jumlah dan konsentrasi mediator inflamasi seperti makrofag, sitokin, growth factor dan oksigen radikal, menunjukkan bahwa respon inflamasi intrapelvik lokal timbul pada wanita dengan endomteriosis dibandingkan dengan wanita tanpa penyakit ini. Endometrium ektopik diyakini berkembang oleh aktivasi makrofag dan dipresentasikan secara antigenik terhadap sel limfosit T yang akan mengalami proliferasi dan diferensiasi ke dalam sel T fungsional yang terdiri dari helper, supresor dan sitotoksik.
Penurunan aktivitas natural killer cell berperan dalam clearance endometrium ektopik yang berasal dari tumpahan regurgitasi darah haid selama menstruasi. Natural killer cell merupakan sel efektor yang umumnya menghancurkan sel tumor, sel induk yang terinfeksi virus dan bentuk transplantasi sel asing. Oosterlynck dkk adalah yang pertama menunjukkan penurunan aktivitas natural killer cell dan sitotoksisitas terhadap sel endometrium autolog p;ada wanita yang mengalami endometriosis. Peneliti lain memperkuat temuan ini dalam serum dan cairan pelvis penderita endometriosis. Ketidaksanggupan membersihkan sel endometrium ektopik ini akan memperpanjang respon inflamasi yang mengarah pada pertumbuhan dan faktor sitokin yang berkompeten lainnya memudahkan implantasi endometrial ektopik, mempertahankannya dan tumbuh. Selain itu protein adhesi ditemukan tinggi pada lesi endometriosis, dimana ini sangat berperan pada proses implantasi embrio.
Sitokin diproduksi sebagai respon terhadap aktivasi antigen endometrial ektopik yang diyakini akan mengaktifkan sel B resting yang akan memudahkan diferensiasinya menjadi sel plasma yang mensekresikan antibodi. Antibodi kemudian juga diproduksi terhadap fosfolipid sel endometrium. Penyimpangan respon secara imunologi akan menimbulkan sekuel endometriosis termasuk pembentukan formasi adhesi, infertilitas dan nyeri pelvik.
Selama dekade terakhir bukti yang telah dikumpulkan menunjukkan hubungan antara endometriosis dengan perubahan humoral dan cell mediated immunity. Kelainan fungsi imun ini mengakibatkan kegagalan dalam clearance sel endometrium ektopik yang mengakibatkan sel endometrium mudah untuk mengalami implantasi.
Makrofag adalah sel predominan dan komponen kunci dalam imunitas alami. Sel ini terlibat dalam pengenalan sel asing. Di rongga peritoneum makrifag terlibat dalam removal benda asing dan menghancurkannya. Hiperaktivitas makrofag dalam cairan peritoneum memberikan kontribusi dalam patogenesis endometriosis dengan mensekresikan growth factor dan sitokin. Halme dkk telah memperlihatkan peningkatan sekresi makrofag yang menghasilkan growth factor pada wanita endometriosis dibandingkan dengan wanita dengan pelvis yang normal.
Makrofag adalah sumber utama IL-1 dan TNFα. Sitokin ini adalah proinflamatori dan mempunyai kerja yang sama dengan berbagai jenis sel imun. TNFα mengaktifkan leukosit inflamasi dan merangsang makrofag untuk memproduksi sitokin seperti IL-1, IL-6 dan lebih banyak TNFα.
Pada penelitian terakhir dipercayai adanya keterlibatan AIF-1 pada menstruasi dan patofisiologi terjadinya endometriosis melalui pemeriksaan adanya AIF-1 pada endometrium manusia normal dan endometriosis. Juga telah ditemukan adanya kadar AIF-1 pada cairan peritoneum pasien dengan endometriosis maupun tanpa endometriosis.
Faktor Genetik
Penelitian tentang dasar genetik dari endometriosis masih banyak diteliti tetapi belum ada gen spesifik yang dapat dibuktikan secara pasti. Bagaimanapun, saat ini sudah ada bukti klinis dan eksperimen dimana ada literatur yang secara tegas menyatakan endometriosis termasuk penyakit genetik. Bukti/klinis tersebut adalah ditemukannya endometriosis pada kelompok manusia memiliki hubungan keluarga dan ditemukan pada sebagian besar populasi Islandia, pada kembar monozigot juga pada saudara perempuan yang bukan saudara kembar; meningkatnya angka kejadian 6-9 kali pada keturunan pertama wanita yang terkena dibandingkan populasi, dan angka kejadian sebanyak 15% yang ditemukan dengan pemeriksaan MRI pada keturunan pertama wanita yang menderita penyakit ini pada stadium III-IV menurut revised American Fertility Society (rAFS). Sebagai tambahan, sejumlah penelitian juga menemukan beberapa gen yang mungkin mempunyai hubungan penyakit ini.
Penelitian pada saudara kembar memberikan bukti klinis yang kuat, termasuk laporan kasus kembar monozigot (MZ) dan dizigot (DZ) telah dilakukan oleh Australian National Health and Medical Research Council Twin Register. Kuisioner dikirimkan ke 3298 wanita dan dikonfirmasi oleh dokternya, yang mau ikut berpartisipasi dalam penelitian. Status endometriosis ditegakkan oleh ahli patologi atau laporan operasi atau keduanya. Dari survey, 3096 (94%) yang diteliti, diantaranya 215 orang mengaku bahwa mereka menderita endometriosis, dengan angka kejadian 0,7 dari seluruh responden. Dari semua wanita yang diteliti yang menderita endometriosis didapatkan korelasi antara kembar MZ dan kembar DZ adalah 0,52 ± 0,8 dan 0,19 ± 0,16, hal ini menunjukkan bahwa terdapat 51% kemungkinan pengaruh dari genetik pada endometriosis.
Endometriosis dalam keluarga dapat disimbolkan dengan angka λs (yakni perbandingan risiko dari saudara wanita penderita yang terpapar endometriosis dibandingkan dengan risiko pada populasi umum), nilainya berkisar antara 2 sampai 9 dari seluruh penyakit endometriosis ringan sampai berat. Selain itu, pada wanita dengan endometriosis yang paling berat, λs akan meningkat menjadi 15 berdasarkan data MRI. Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa endometriosis diturunkan dengan sifat genetik yang kompleks, seperti diabetes, asma, dan hipertensi, dimana fenotip muncul sebagai hasil dari interaksi antara variasi allel pada sejumlah gen, dan antara gen-gen tersebut dengan faktor lingkungan. Risiko rekurensi pada saudara kandung bermanfaat untuk memperkirakan kontribusi faktor genetik terhadap risiko penyakit ini karena digunakan untuk memperkirakan keakuratan hubungan dari penelitian-penelitian pada saudara kandung yang menderita dan sebaliknya berhubungan dengan jumlah saudara yang terkena untuk mendeteksi kerentanan lokus-lokus gen dengan karakteristik kompleks.
Stadium Endometriosis
Penentuan stadium endometriosis sangat penting dilakukan terutama untuk menerapkan cara pengobatan yang tepat dan untuk evaluasi hasil pengobatan. Namun stadium ini tidak memiliki korelasi dengan derajat nyeri keluhan pasien maupun prediksi respon terapi terhadap nyeri atau infertilitas. Hal ini dapat dimengerti karena endometriosis dapat dijumpai pada pasien yang asimptomatik. Klasifikasi Endometriosis yang digunakan saat ini adalah menurut American Society For Reproductive Medicine yang telah di revisi pada tahun 1996 yang berbasis pada tipe, lokasi, tampilan, kedalaman invasi lesi, penyebaran penyakit dan perlengketan.
Penentuan stadium atau keterlibatan endometriosis didasarkan pada system nilai bobot (weighted point system). Sebaran nilai-nilai tersebut telah ditetapkan secara sembarang. Untuk menjamin penilaian yang sempurna, inspeksi pelvis hendaknya dilakukan searah jarum jam atau berlawanan. Catat jumlah, ukuran dan letak susukan endometriosis, bongkah (plak), endometrioma, dan atau perlekatan. Pada stadium I (minimal), bobot : 1 – 5 ; stadium II (ringan), bobot : 6 – 15 ; stadium III (sedang), bobot : 16 – 40 ; stadium IV (berat), bobot : > 40. Susukan endometriosis peritoneum didefinisikan sebagai lesi superfisial, dimana tampilan lesi dapat sebagai warna merah (merah, merah-muda, merahmenyala, gelembung darah, gelembung bening), warna putih (opasifikasi/keruh, cacat pertitoneum, coklat-kekuningan), atau hitam (hitam, tumpukan hemosiderin, biru). Endometriosis diklasifikasikan sebagai lesi dalam jika menyebuk lebih dari 5 mm dibawah permukaan peritoneum. Ukuran dan kedalaman nodul sukar dinilai dengan pemeriksaan laparoskopi; tetapi palpasi cermat dengan perabaan dapat mengenali lesi-lesi tersebut.
Cara Mengobati Endometriosis
Pengobatan endometriosis, tergantung pada:
- Berat keluhan dan gejala yang dialami penderita
- Luasnya endometriosis yang ditemukan pada pemeriksaan laraskopi
- Harapan perempuan untuk hamil lagi
- Umur penderita
Bagi perempuan endometriosis usia muda dengan keluhan minimal, cukup diobservasi dan melakukan kontrol pemeriksaan setiap 6 bulan sampai 1 tahun untuk menilai perubahan dan kemajuan penyakitnya. Secara umum boleh dikatakan bahwa tidak ada obat untuk menyembuhkan endometriosis. Terutama hubungan dokter dan pasien endometriosis harus sedemikian dekat, sehingga dokter bisa meyakinkan penderita bahwa sakitnya tidak berbahaya. Karena belum ada obat untuk menyembuhkan, penderita akan terus merasa terancam seumur hidup dan stres selama menunggu waktu siklus menstruasinya
Berikut ini adalah beberapa cara pengobatan, antara lain:
- Obat untuk sakit
Hanya untuk mengurangi keluhan tidak enak dari endometriosis dengan keluhan sakit tidak begitu berat dan pada pemeriksaan panggul tidak ditemukan kelainan berarti, si perempuan juga tidak sedang hamil. Bila diketahui hamil, sebaiknya dianjurkan tidak melakukan hubungan seksual selama 6 bulan pertama hamil
- Obat-obatan hormon
Diberikan kepada penderita endometriosis yang tidak hamil. Obat-obatan ini bisa dalam bentuk pil, suntikan atau semprotan. Seperti jenis gabungan hormon estrogen dan progestin (contoh pil KB), atau hanya progestron saja misalnya danocrine, sejenis hormon untuk lelaki yang lemah (a weak male hormon) atau Hormon GnRH agonis.
Kehamilan palsu (pseudopregnancy) mungkin terjadi bila diberikan pengobatan hormonal. Kondisi serupa terjadi pda kehamilan, dimana keluhan endometriosis akan berkurang. Kehamilan palsu bisa terjadi dengan pemberian obat gabungan hormon estrogen dan progestron seperti pil KB
Pil KB menyebabkan pertumbuhan sel selaput lendir rahim (endometrium) dan mengurangi pengeluaran darah haid. Setelah berhenti minum pil KB, perempuan tersebut bisa hamil tetapi keluhan endometriosis bisa timbul kembali. Beberapa perempuan endometriosis makan pil KB terus-menerus tanpa menggunakan pil gula yang biasanya dimakan selama menstruasi. Pil KB diberikan selama 6-9 bulan
Pada beberapa penderita endometriosis digunakan pil KB yang hanya mengandung progestin (suatu hormon yang menyerupai progesteron) juga berefek untuk mengurangi darah menstruasi dan keluhan nyeri. Malahan pada beberapa penderita, keluhan nyeri tidak timbul lagi meskipun sudah 1 tahun mengkonsumsi obat
Efek samping penggunaan pil KB, antara lain: berat badan bertambah, pendarahan diantara siklus menstruasi dan perut gembung, serta timbul bercak pendarahan setelah pemberian dihentikan. Meskipun progesteron dianggap obat yang paling efektif pada endometriosis, teteapi efek sampingnya yang menjadi penghalang yakni:
- Berat badan bertambah
- Depresi
- Timbul bercak pendarahan (spoting) setelah obat dihentikan
Keadaan menyerupai menopause (pseudomenopause) terjadi pada pengobatan hormon, karena endometrium juga menyusut setelah menopause. Obat hormonal yang banyak menyebabkan kondisi begini adalah Danazol. Danazol suatu hormon lelaki androgen yang ringan. Hormon ini menurunkan progesteron dan esterogen sampai pada kadar rendah sekali.
Pengalaman para ahli, Danazol lebih unggul dibandingkan obat yang menimbulkan kehamilan palsu, terutama endometriosis yang tidak terlalu berat dan luas. Preparat baru untuk menciptakan kondisi pseudomenopause, digunakan obat antigonadotropin (nama paten dari Synarel dan obat depo Lupron). Obat ini merangsang pituitari untuk menghasilkan FSH (Folikel Stimulating Hormon) dan LH (Lactogenic Hormon). Kedua hormon tersebut menyebabkan ovarium idak menghasilkan hormon estrogen. Seperti Danazol, obat ini juga menimbulkan pseudomenopause dengan gejala awal yang kurang enak seperti muka panas dan merah (hot flushes), vagina kering, kalsium diserap dari tulang, hingga beresiko terjadi osteoporosis sehingga pemberian obat dibatasi hanya sampai 6 bulan
Menciptakan kondisis pseudomenopause karena melihat keluhan/gejala endometriosis akan berkurang setelah menopause. Pemberian Danazol ini, bermaksud untuk menurunkan kadar estrogen dan progesteron.
Studi lain menunjukkan bahwa Danazol adalah untuk menciptakan kondisi pseudopregnancy (seperti hamil), hingga endometriosis tidak terlalu luas dan dengan keluhan tidak terlalu berat, bisa berkurang. Tetapi karena efek samping Danazol, belakangan ini penggunaanya untuk pengobatan endometriosis kurang diminati.
- Pengobatan dengan cara dioperasi (secara laparotomi dan laparoskopi)
Biasanya untuk pengobatan penderita endometriosis yang luas disertai keluhan yang sangat nyeri
Operasi secara laparoskopi
Operasi ini dilakukan sekalian untuk menegakkan diagnosa. Dengan diagnosa yang baik, maka pengobatan bisa dilakukan dengan tepat dan dengan hasil yang baik.
Operasi dengan cara laparotomi
Luka operasi di dinding perut lebih lebar, karena untuk mengangkat jaringan endometriosis, mungkin sekaligus untuk mengangkat rahim (histerektomi). Malah mungkin sekaligus mengangkat ovarium dan saluran tuba falopii apabila endometriosis ada pada ovarium atau saluran tuba.
Perlu diingat, pengobatan dengan operasi adalah tidak menjamin bahwa keluhan nyeri tidak timbul lagi
Publikasi belakangan ada yang memberikan obat leuprorelin untuk mengurangi keluhan penderita endometriosis. Pemberian leuprorelin dengan suntikan intra muskular atau subkutan setiap 4 minggu. Leuprorelin sintetis nonpeptida yang menyerupai GnRH (Gonadotropin Releasing Hormon) adalah berfungsi untuk merangsang keluarnya hormon di kelenjar kelamin secara alami. Sebagai akibatnya, hormon Gonadotropin kurang diproduksi, hingga endometrium menyusut dan selaput lendir rahim (endometrium) meskipun jaringan endometrium yang ektopik. Tetapi setelah obat dihentikan semua perubahan tersebut akan membentuk kembali.
Efek samping lain, berupa pengaruh hiperprogesteronemia (kadar hirmon progesteron tinggi di dalam darah) hingga timbul keluhan muka merah dan terasa panas, sakit kepala, libido berkurang, vagina kering, gangguan emosi, buah dada menyusut, dan densitas tulang berkurang sampai beresiko terjadi osteoporosis
Pemberian Leuprorelin dimulai 5 hari pertama siklus menstruasi. Karena efek samping leuprorelin di atas, lama pemberian pada endometriosis paling lama 6 bulan
Apabila pengobatan endometriosis tidak berhasil, penderita akan merasa sedih, takut, atau marah dan merasa kesepian.
KESIMPULAN
- Endometrium adalah lapisan terdalam pada rahim dan tempatnya menempelnya ovum yang telah dibuahi.
- Hormon yang terkait dalam siklus reproduksi wanita yaitu: LH, FSH, estrogen, dan progesteron.
- Endometriosis adalah suatu keadaan yang ditandai dengan ditemukannya jaringan endometrium yang fungsional di luar kavum uteri, berhubungan dengan haid, bersifat jinak tetapi dapat menyerang organ-organ sekitarnya. Bila ditemukan di dalam miometrium disebut endometriosis interna atau adenomiosis, sedangkan bila ditemukan di luar uterus disebut endometriosis eksterna atau true endometriosis.
- Hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya endometriosis: Regurgitasi haid, gangguan imunitas, faktor genetik.
- Mengetahui mekanisme terbentuknya endometriosis.
- Mekanisme perkembangan endometriosis sebagai berikut:
- Penyusukan sel endometrium dari haid berbalik (Sampson)
- Metaplasia epitel selomik (Meyer-iwanoff)
- Penyebaran limfatik (Halban-Javert) dan Vaskuler (Navatril)
- Sisa sel epitel Muller embrionik (von recklinghausen-Russel)
- Perubahan sel genitoblas (De-Snoo)
- Penyebaran iatrogenik atau pencangkokan mekanik (Dewhurst)
- Imunodefisiensi lokal
- Cacat enzim aromatase
- Mengetahui cara mengobati endometriosis meliputi: obat sakit, obat-obatan hormon, dan pengobatan dengan cara dioperasi (secara laparotomi dan laparoskopi).
SARAN
- Bagi para wanita yang mengalami sebagian besar gejala-gejala endometriosis segera periksakan ke dokter atau bidan terdekat.
- Hendaknya ada penelitian yang lebih lanjut, sehingga ada pengetahuan mengenai endometriosis lebih mendalam dan lebih akurat.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim. (2011). Endometriosis. (Online), (http://www.wikipedia.com Diakses tanggal 05 Februari 2012).
Farah, D. (2006). Allograft Inflammatory Factor-1 Sebagai Kemungkina Adanya Endometriosis. Palembang: Jurnal Penelitian Departemen Obstetri Dan Ginekologi. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Geneser, F. (2007). Atlas Berwarna Histologi. Jakarta: Binarupa Aksara.
Rambulangi, J. (2002). Genetic Epidemiology Of Endometriosis. Jurnal Medika Nusantara. 2002; 23:767-73.
Sloane, E. (2004). Anatomi Dan Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC.
Subecha, M. (2011). Endometriosis Bisa Berpengaruh Pada Infertilitas dan Karier Wanita. (Online), (http://www.Blogspot.html. Diakses tanggal 04 Februari 2012).
Veloso, B. (2007). Endometriosis Dapat Picu Infertilitas. (Online), (http://www.wordpress.com Diakses tanggal 04 Februari 2012).
Wiknjosastro, H. (2009). Ilmu Kandungan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirihardjo.
Yatim, F. (2005). Penyakit Kandungan. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Halaman 71-79.
Yatim, W. (1982). Reproduksi dan Embryologi. Bandung: Tarsito Bandung.